Minggu, 31 Oktober 2010

BAB III. Tentang Iklan MILK MAID CAP NONA

Ceritanya karena hobi sarapan roti pakai macam-macam (bisa selai, meses, susu kental, coklat, tuna, telur, dll), kebetulan kelihatan yang satu ini.
Unik sebenarnya. MILK MAID ini kan sebenarnya sama dengan CAP NONA, mungkin CAP NONA nya tetap yang kemasan kaleng bulat gitu kali seperti yang lain-lain tapi kalau pakai nama MILK MAID khusus di kemasan ini aja.
Pertama kali lihat sih kirain sabun apa gitu, eh ternyata susu kental manis. Senang banget deh trus dibeli. Oh ya, mengenai kemasannya menurut saya sih kurang rapat yah, soalnya 2 x beli gitu setelah beberapa hari rasanya udah mulai berubah.
Susu dan sejenisnya gini kan tidak tahan lama kalau di udara bebas, tentu kalau ditaruh di dalam kulkas akan bisa lebih tahan. Selain kemasan gini sepertinya FRISIAN FLAG atau INDOMILK juga udah mulai membuat wadah susu kental yang tidak lagi pakai kaleng beberapa bulan sesudahnya. Bahkan kemasan sachetnya juga sudah ada kan?
Sumber : http://scylics.multiply.com/journal?&=&page_start=200

Sabtu, 09 Oktober 2010

BAB II . Budaya Kerja Perusahaan PT . DJARUM


Budaya kerja perusahaan ini bergerak dalam bidang penerimaan/penyaluran hasil tembakau para petani, dan turut berperan dalam meningkatkanproduktivitas hasil tembakau. Peusahaan-perusahaan ini banyak membina petani tembakau yang ada di Pulau Lombok. Berbagai upaya dilakukan oleh perusahaan ini untuk lebih meningkatkan hasil-hasil tembakau baik secara kualitas maupun kuantitas, diantaranya melalui penyuluhan tentang cara pembibitan, pemeliharaan, pemungutan hasil panen, pengolahan termasuk di dalamnya pengeringan dan pengepakan serta tidak kalah pentingya dalam hal pemberian modal kepada petani. Selanjutnya dengan memperhatikan berbagai latar belakang dan keterbatasan yang dimiliki oleh petani dalam melakukan usahanya di atas, maka hendaknya terus dikembangkan hubungan kemitraan dalam bentuk keterkaitan usaha yang saling menunjang dan menguntungkan baik dengan koperasi, swasta dan Badan Usaha Milik Negara, serta antara usaha besar, menengah dan kecil dalam rangka memperkuat.
struktur ekonomi nasional. Senada dengan hal tersebut, menurut Sri Redjeki Hartono, dalam rangka meningkatkan kemampuan usaha yang berskala kecil harus dibarengi dengan kebijakan berupa beberapa upaya secara sistematis antara lain yaitu :
1. Menyediakan perangkat peraturan yang sifatnya :
•  Mendorong terjadinya kerjasama/kemitraan.
• Menciptakan bentuk kerjasama/kemitraan.
• Memberi kemudahan dalam rangka terciptanya kerjasama/kemitraan.
2.Membentuk wadah-wadah kerjasama/kemitraan secara formal antara departemen,
jawatan dan instansi yang bersifat teknis dengan pengusaha-pengusaha swasta
(menengah dan kecil).

Kebijakan seperti tersebut di atas, merupakan wujud dari kehendak untuk melakukan keberpihakan kebijakan komunikasi organisasi kepada usaha kecil dan menengah, tetapi tentu saja tanpa mengabaikan peranan usaha besar dan Badan Usaha Milik Negara. Seperti kita ketahui bahwa kegiatan ekonomi di Indonesia secara simultan dilakukan oleh Badan-Badan Usaha Milik Negara, Badan - Badan Usaha Swasta dan Koperasi yang merupakan pendukung bangun ekonomi Indonesia.
Dari definisi kemitraan sebagaimana tersebut di atas, mengandung makna sebagai tanggung jawab moral pengusaha menengah/besar untuk membimbing dan membina pengusaha kecil mitranya agar mampu mengembangkan usahanya sehingga mampu menjadi mitra yang handal untuk menarik keuntungan dan kesejahteraan bersama. Dalam pedoman pola hubungan kemitraan, mitra dapat bertindak sebagai Perusahaan inti atau Perusahaan Pembina atau Perusahaan Pengelola atau Perusahaan Penghela, sedangkan Plasma di sini adalah Petani Tembakau. Di dalam pelaksanaan kemitraan pola inti plasma, perlu lebih cermat diperhatikan pola hubungan kelembagaan antar mitra sebab secara umum memang harus disadari bahwa dalam kemitraan bertemu dua kepentingan yang sama tetapi dilatarbelakangi oleh kemampuan manajemen, kekurangpahaman dalam pengetahuan hukum, serta permodalan memang sangat rentan untuk menjadi korban dari perusahaan inti yang jelas-jelas mempunyai latar belakang yang lebih kuat.

Sumber : http://www.scribd.com/doc/33288176/Budaya-Komunikasi-Organisasi-PT-Djarum

Minggu, 03 Oktober 2010

BAB I . ADAT ISTIADAT BALI



“Tumpek Wariga” dan Ironi Kesadaran Orang Bali kepada Ibu Bumi


Kaki Bentuyung,
titiang mapangarah,
buin selae dina Galungan,
mabuah nyen apang nged,
nged, ngeeeed!

SABAN kali perayaan hari Tumpek Pengatag, sekelumit doa sederhana itu senantiasa terngiang di telinga saya. Ketika masih kecil, ibu memang sering mengajak saya ikut mengupacarai sejumlah pepohonan di rumah, terutama yang menghasilkan buah yang bisa dimakan. Doa itu mengandung pengharapan agar sang pohon bisa berbuah lebat (nged adalah kosa kata bahasa Bali yang berarti ‘lebat’) sehingga bisa digunakan untuk keperluan upacara hari raya Galungan yang jatuh 25 hari berikutnya.
Dalam konsepsi Hindu, saat Tumpek Pengatag –dikenal juga sebagai Tumpek Wariga, Tumpek Uduh atau Tumpek Bubuh– dihaturkan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Sangkara, Dewa Penguasa Tumbuh-tumbuhan yang dkonkretkan melalui mengupacarai pepohonan. Memang, menurut tradisi susastra Bali, yang menyebabkan tumbuh-tumbuhan hidup dan memberikan hasil kepada manusia adalah Hyang Sangkara. Karenanya, ucapan syukur dan penghormatan kepada Hyang Sangkara mesti dilakukan manusia dengan mengasihi segala jenis tumbuh-tumbuhan.
Dengan demikian, sejatinya, perayaan hari Tumpek Pengatag memberi isyarat dan makna mendalam agar manusia mengasihi dan menyayangi alam dan lingkungan yang telah berjasa menopang hidup dan penghidupannya. Pada Tumpek Pengatag, momentum kasih dan sayang kepada alam itu diarahkan kepada tumbuh-tumbuhan. Betapa besarnya peranan tumbuh-tumbuhan dalam memberi hidup umat manusia. Hampir seluruh kebutuhan hidup umat manusia bersumber dari tumbuh-tumbuhan. Mulai dari pangan, sandang hingga papan.
Karena itu pula, tradisi perayaan Tumpek Pengatag tidaklah keliru jika disepadankan sebagai peringatan Hari Bumi gaya Bali. Tumpek Pengatag merupakan momentum untuk merenungi jasa dan budi Ibu Bumi kepada umat manusia. Selanjutnya, dengan kesadaran diri menimbang-nimbang perilaku tak bersahabat dengan alam yang selama ini dilakukan dan memulai hari baru untuk tidak lagi merusak lingkungan. Sampai di sini, dapat disimpulkan para tetua Bali di masa lalu telah memiliki visi futuristik untuk menjaga agar Bali tak meradang menjadi tanah gersang dan kerontang akibat alam lingkungan yang tak terjaga. Bahkan, kesadaran yang tumbuh telah pula dalam konteks semesta raya, tak semata Bali. Visi dari segala tradisi itu bukan semata menjaga kelestarian alam dan lingkungan Bali, tetapi juga kelestarian alam dan lingkungan seluruh dunia. Istimewanya, segala kearifan itu muncul jauh sebelum manusia modern saat ini berteriak-teriak soal upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan. Jauh sebelum dunia menetapkan Hari Bumi, tradisi-tradisi Bali telah lebih dulu mewadahinya dengan arif.
Hanya memang, perayaan Tumpek Pengatag sebagai Hari Bumi gaya Bali menghadirkan ironi tersendiri. Dalam berbagai bentuk, ritual dan tradisi itu berhenti pada wujud fisik upacara semata, dampak keterjagaan terhadap lingkungan Bali tak tampak secara signifikan. Kenyataannya, alam Bali tiada henti tereksploitasi.
Hingga tahun 2003 kerusakan hutan din Bali sudah mencapai 50 % dari tegakan ideal, sehingga luas hutan di Bali hanya sekitar 18 %. Padahal, menurut UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, luas hutan yang ditetapkan adalah 39 % dari luas Pulau Bali yang mencapai 5.632,86 Km2. Menyusul tingginya mobilitas penduduk, Bali juga mulai mengalami krisis air. Hal ini dikarenakan mengering dan mengecilnya debit air sebagian dari sekitar 500 mata air dan sungai yang mengalir sepanjang tahun cenderung menjadi sungai tadah hujan. Kondisi ini juga diperparah lagi dengan alih fungsi sawah irigasi yang mencapai 1.000 hingga 3.000 ha per tahun serta turunnya kesuburan tanah dengan tersisanya zat hara hanya sekitar 22 %.
Situasi serbaparadoks ini sesungguhnya lebih dikarenakan pemaknaan yang tidak total atau tanggung terhadap ritual-ritual yang ada. Ritual-ritual itu yang sesungguhnya hanya alat, sebatas wadah untuk mengingatkan, tidak diikuti dengan laku nyata, tidak disertai dengan aksi konkret. Karenanya, yang mesti dilakukan saat ini adalah upaya untuk memaknai ritual-ritual itu secara lebih kontekstual dan total sekaligus menyegarkannya dalam tataran laku tradisi. Perlu ada reaktualisasi terhadap kearifan-kearifan tradisi yang dimiliki Bali.
Karenanya, akan menjadi menawan, bila Tumpek Pengatag tak semata diisi dengan menghaturkan banten pengatag kepada pepohonan, tapi juga diwujudnyatakan dengan menanam pohon serta menghentikan tindakan merusak alam lingkungan. Dengan begitu, Tumpek Pengatag yang memang dilandasi kesadaran pikir visioner menjadi sebuah perayaan Hari Bumi yang paripurna. Bahkan, manusia Bali bisa lebih berbangga, karena peringatan Hari Bumi-nya dilakonkan secara nyata serta indah menawan karena diselimuti tradisi kultural bermakna kental.
* I Made Sujaya

Masyarakat desa di bali  mempunyai tradisi dan adat istiadat sudah lama sekali.makanya masyarakat bali mempunyai lingkungan yang sangat bagus sekali.gak menyangka sejuta keindahan yang selalu menyelimuti  para turis asing. 
Sumber : http://nince.wordpress.com/2009/01/23/adat-istiadat-bali/